Bidan, ASI Eksklusif, Dan Stunting Peran Bidan Sebagai Garda Terdepan Pendukung Keberhasilan ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Sebagai Langkah Pencegahan Stunting

Elly Susilawati, Elly and Yanti, Yanti and Siska Helina, Siska (2022) Bidan, ASI Eksklusif, Dan Stunting Peran Bidan Sebagai Garda Terdepan Pendukung Keberhasilan ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui Sebagai Langkah Pencegahan Stunting. Taman Karya, Pekanbaru. ISBN 9786233253437

[img] Text
BUKU REFERENSI LENGKAP.pdf

Download (425kB)

Abstract

Ancaman permasalahan gizi di dunia, ada 165 juta anak dibawah 5 tahun dalam kondisi pendek dan 90% lebih berada di Afrika dan Asia. Target global adalah menurunkan stunting sebanyak 40% pada tahun 2025 (WHA, 2012). Untuk itu dibutuhkan penurunan 3,9% per tahun. Target global yang tercapai adalah menurunkan stunting 39,7% dari tahun 1990 menjadi 26,7% pada tahun 2010. Dalam jangka waktu 20 tahun tersebut dapat diturunkan 1,6% per tahun. Penurunan yang sangat kecil terjadi di Afrika (40% menjadi38%). Sedangkan penurunan yang cukup besar terjadi di Asia (dari 49% menjadi 28%), sekitar 2,9% per tahun. Penurunan yang terbesar ada di Tiongkok, pada tahun 1990 sebesar 30% menjadi 10% pada tahun 2011 (Atmarita, 2015). Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi. Guna menekan masalah gizi balita, pemerintah melakukan gerakan nasional pencegahan stunting dan kerjasama kemitraan multi sektor. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) menerapkan 160 kabupaten prioritas penurunan stunting (Rahmadhita, 2020). Dikota Pekanbaru Provinsi Riau, Prevalensi stunting tertinggi tahun 2021 terdapat di Kelurahan Pesisir (11,31%), Tanjung Rhu (6,67%), dan Rumbai Bukit (4,22%). Prevalensi stunting yang terendah terdapat di Kelurahan Lembah Sari (1,33%) dan Rejosari (0,30%). Terdapat 1 kelurahan yang mengalami kenaikan prevalensi stunting dari tahun 2020 ke tahun 2021 yaitu Kelurahan Pesisir. Hal ini dikarenakan Kelurahan Pesisir berada di wilayah pinggiran sungai. Sehingga, akses sanitasi dan PHBS yang kurang baik di tingkat rumah tangga serta lingkungan yang tidak bersih akan membuat balita mudah terkena penyakit infeksi yang berulang (KOMINFO, 2021). Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah Kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Rahmadhita, 2020). Riskesdas 2010 menunjukkan kelompok anak pendek pada umumnya lahir dari ibu yang rerata tinggi badannya lebih pendek (150,7 cm) dibandingkan rerata tinggi badan ibu kelompok yang normal (152,4 cm). Sebaliknya kelompok ibu yang pendek (tinggi <150 cm) cenderung melahirkan bayi pendek yang lebih banyak (47,2%) dibandingkan kelompok ibu dengan tinggi normal (36,0%). Faktor determinan pendek pada bayi antara lain adalah tinggi badan ibu <150 cm, IMT ibu hamil <18,5 kg/m2, pertambahan berat badan selama hamil yang di bawah standar dan asupan zat gizi yang di bawah angka kecukupan gizi. Selain itu factor pendidikan dan status ekonomi jelas berpengaruh pada status gizi pendek. Makin tinggi pendidikan dan makin sejahtera keluarga, makin kecil prevalensi pendek (Atmarita, trihono, 2015). Di negara berkembang,kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Ibu hamil yang pendek membatasi aliran darah rahim dan pertumbuhan uterus, plasenta dan janin sehingga akan lahir dengan berat badan rendah. Apabila tidak ada perbaikan, terjadinya IUGR dan BBLR akan terus berlangsung di generasi selanjutnya sehingga terjadi masalah anak pendek intergenerasi. Gizi ibu dan status kesehatan sangat penting sebagai penentu stunting. Seorang ibu yang kurang gizi lebih mungkin untuk melahirkan anak terhambat, mengabadikan lingkaran setan gizi dan kemiskinan (Atmarita, trihono, 2015). Faktor gizi juga dapat mempengaruhi kecerdasan intelektual terutama pada anak-anak, hal ini karena pada masa pertumbuhan awal anak, terjadi pertumbuhan sel-sel neuron otak secara pesat sehingga membutuhkan gizi yang optimal untuk proses pembentukannya, zat gizi yang kurang akan mengakibatkan selsel neuron yang terbentuk akan lebih sedikit sehingga kemampuan kapasistas beripikir intelektual anak juga akan menurun yang dapat dilihat dari skor IQ yang lebih rendah dari pada anak seusianya dengan gizi seimbang (Atmarita, trihono, 2015). Menurut Unicef Framework faktor penyebab stunting pada balita salah satunya yaitu asupan makanan yang tidak seimbang. Asupan makanan yang tidak seimbang termasuk dalam pemberian ASI eksklusif yang tidak diberikan selama 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih jauh dari harapan. Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Namun, angka ini belum mencapai dari target cakupan ASI eksklusif yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 80% (Sr & Sampe, 2020). Cakupan pemberian ASI Eksklusif di Provinsi Riau hanya mencapai 75%, belum mencapai target yang ditetapkan, yaitu sebesar 80% pada tahun 2019. Rentang pemberian ASI eksklusif di kabupaten/kota paling tinggi yaitu pada Kabupaten Indragiri Hilir sebesar 100%, sementara cakupan paling rendah di Kabupaten Rokan Hilir yaitu 35%, sedangkan di Kota Pekanbaru dengan cakupan 73% (Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2019). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan ASI Eksklusif diantaranya yang paling utama adalah dukungan keluarga dan motivasi ibu. Masalah yang banyak terjadi yaitu ibu menyusui sebagian besar mengalami kondisi kurang gizi. Sehingga hal ini mempengaruhi kuantias dan kualitas ASI, yang pada akhirnya sebelum usia 6 bulan bayi sudah diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) (Sumarni et al., 2020). Dukungan tenaga kesehatan menjadi hal yang tidak bisa dibantahkan dalam penceghaan stunting. Peran tenaga kesehatan adalah pemberi pesan penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Tenaga kesehatan juga memiliki fungsi sebagai motivator kepada masyarakat yaitu memberikan semangat kepada warga agar peduli terhadap kesehatan. Kemudian peran terakhir tenaga Kesehatan adalah sebagai fasilitator. Fasilitator yang dimaksud adalah kemudahan akses sarana dan prasarana yang ada sehingga masyarakat bisa menjangkau pelayanan kesehatan yang ada. Dengan tingginya peran tenaga kesehatan yang ada akan mempengaruhi pemahaman dan perilaku kesehatan pada masyarakat. Dukungan tenaga kesehatan terkait pencegahan stunting dalam hal penambahan pengetahuan dan pemenuhan kebutuhan informasi pada keluarga sangat penting. Dengan adanya tenaga kesehatan pemahaman masyarakat terkait stunting menjadi lebih baik. Promosi kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan yaitu kader akan sangat bermakna dalam pengetahuan dan sikap dalam penanggulangan stunting (Bukit et al., 2021). Sebagaimana peran bidan dalam membantu persalinan dan menekan angka kematian ibu dan bayi, bidan juga diharapkan berperan penting menurunkan angka stunting. kehadiran bidan pada posyandu balita merupakan hal yang sangat krusial untuk memberikan dukungan kepada para ibu agar memperhatikan detail perkembangan anak, mulai dari pembiasaan perilaku bersih dan sehat, hingga penyusunan menu makan dengan kaidah gizi seimbang. Pengetahuan yang diberikan bidan sebagai yang terdekat dengan masyarakat akan berdampak baik terhadap peningkatan motivasi para ibu untuk memberikan nutrisi, pengasuhan, dan gaya hidup bersih secara optimal. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan pasal 46 menjelaskan bahwa tugas bidan meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak, reproduksi perempuan, dan keluarga berencana. Anak yang dinyatakan sehat dalam proses tumbuh kembang pada awal kehidupannya, adalah anak yang tidak mengalami stunting. Pada ranah inilah, peran bidan menjadi lebih luas, karena ia adalah figur fasilitator bagi keluarga untuk melakukan pencegahan dan penanganan stunting sejak dini. Sebagai bagian integral dari tenaga kesehatan, bidan memang memiliki peran yang strategis dalam mempercepat penurunan angka stunting demi mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan berkualitas. Bidan merupakan garda terdepan masyarakat dalam mendapatkan edukasi gizi untuk keluarga (Dinisari, 2021).

Item Type: Book
Subjects: R Medicine > RT Nursing
Depositing User: elly susilawati pkr
Date Deposited: 06 Jan 2023 02:18
Last Modified: 06 Jan 2023 02:18
URI: http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/3327

Actions (login required)

View Item View Item